
Wong Jowo punya cara tersendiri untuk menikmati kepedihan, dan “Lord” Didi Kempot melantunkannya dengan sangat indah.
Adalah Sobat Ambyar, sebuah film baru yang tayang di platform Netflix bulan Januari ini.
Jatmiko (diperankan oleh Bhisma Mulia), seorang pemuda Jawa tulen dengan segala ke-engga-enakan-nya.
Jatmiko sering terjebak dalam gamang saat harus membuat keputusan. Adik satu-satunya, si tomboy Anjani (dimainkan dengan lugas oleh Sisca JKT48) kerap memarahinya karena tak cepat mengambil keputusan. “Kesuwen (kelamaan) Mas!,” Begitu teriak Anjani tiap Jatmiko berada dalam kebimbangan.
Sikap canggung itulah yang membuat Jatmiko, Anjani, dan Kopet (sahabat Jatmiko, diperankan oleh Erick Estrada) lebih memilih untuk membuka kedai kopi franchise. Padahal, keluarga mereka memiliki resep racikan kopi mumpuni warisan almarhum orang tua Jatmiko.
Alhasil, tak banyak pengunjung yang datang ke kedai kopi mereka. Jatmiko kemudian bermaksud untuk menutup usahanya, sebelum seorang bidadari muncul di detik-detik terakhir, Saras (Denira Wiraguna).

Saras adalah mahasiswi tingkat akhir yang lebih suka menyelesaikan skripsinya di kafe Jatmiko ketimbang di kos. “Banyak drama!,” Kata Saras merujuk pada tingkah aneh 2 pemuda Anton dan Tomi yang naksir berat sekaligus sering merusak konsentrasinya.
Singkat cerita, Jatmiko tak jadi menutup kedai kopi dan kemudian berpacaran dengan Saras. Hari-hari mereka dilalui dengan penuh suka cita. Bahkan Jatmiko ikut membantu Saras menyelesaikan skripsi hingga lulus.
Sambil menunggu wisuda, Saras menyempatkan diri untuk pulang ke kota asalnya, Surabaya. Ia berjanji akan kembali jelang hari uang tahunnya. Tak sabar menunggu, Jatmiko nekat pergi ke Surabaya untuk memberi kejutan Saras.
Sambil menenteng boneka beruang besar pengejawantahan rasa cinta, sampailah Jatmiko di rumah Saras.
Dan yang terjadi selanjutnya adalah tragedi…
Magnetisme Jawa
Sobat Ambyar adalah film roman biasa, andai tanpa Jawa dan Didi Kempot.
Betapa dialog dan logat medhok yang dilafalkan dengan bagus oleh Jatmiko, Anjani, dan Kopet menjadi magnet tersendiri buat penonton, terutama yang punya keterikatan budaya sama.
Bahkan pisuhan (umpatan) ala Jawa seperti ‘Asu tenan, bajingan, jancuk!’ menjadi sangat merdu dan membangkitkan kenangan. Bagi penulis, -yang kebetulan termasuk kaum urbanis-, Sobat Ambyar sukses melambungkan emosi kedekatan kultur.
Solo Raya yang menjadi tempat syuting Sobat Ambyar sudah menyediakan segalanya, termasuk lokasi rumah Jatmiko. Kota yang juga menjadi homebase sang maestro Didi Kempot ini tanpa diminta sudah menggambarkan denyut kehidupan kos-rumah- kampus-café secara njawani.
Jangan terlalu berat memikirkan logika cerita, karena Sobat Ambyar tak hendak membuat Anda mengernyitkan dahi lama-lama. Soal rivalitas Anton dan Tomi yang seketika berubah haluan, atau tokoh Abdul yang datang tiba-tiba tak perlu Anda pikir terlalu dalam.
Yang justru menarik adalah bagaimana karya-karya Didi Kempot menjadi energi maha dahsyat bagi film ini. Harus diakui, lagu-lagu seperti Cidro, Bojo Anyar, Wek e Sopo yang sudah terkenal lebih dulu mempermudah duo sutradara Bagus Bramanti dan Charles Gozali membangun kedekatan dengan penonton.
Kredit buat penata musik Nanin Wardhani yang tak latah menjejalkan lagu-lagu Sang Maestro secara berlebihan. Racikannya pas. Bahkan suara keyboard khas organ tunggal yang sering kita dengar di kondanganpun terasa masuk di film ini.

Sobat Ambyar menyuguhkan visualisasi yang sederhana tapi memanjakan mata. Scene romantisnya kena, tragik-komediknya juga kena. Meski nama-nama Bhisma, Sisca JKT48, Erick, atau Denira belum sementereng artis yang lebih dulu malang melintang di dunia sinema, namun karakter dan dialog mereka sangat hidup. Oh ya, ada komika Mo Siddiq yang hadir sebagai cameo di film ini.
Sang Maestro

Didi Kempot bak seorang maestro yang menjalani reinkarnasi. Di tahun 90’an, lagu-lagu campursarinya sudah dikenal, terutama di daerah Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur.
Tak ada yang menyangka, 3 tahun belakangan ini, namanya moncer kembali, bahkan dengan audiens yang lebih luas, Nasional.
Berpulangnya Beliau pada bulan Mei 2020 tak lantas menguburkan semua karyanya. Lagu-lagunya tetap hidup, disukai, tetap diratapi.
“Nek patah hati, ayo dijogeti!” (kalau patah hati, ayo dijogetin) ”, begitu kalimat penutup Beliau di ujung cerita Sobat Ambyar.
Selamat Jalan Maestro, selamat jalan legenda!