Home Education Kulineran Sambil Belajar: Culinary Walking Tour Sebagai Cara Memperkenalkan Budaya Daerah

Kulineran Sambil Belajar: Culinary Walking Tour Sebagai Cara Memperkenalkan Budaya Daerah

“Anak muda zaman sekarang makan di pinggir jalan aja pake ikutan tur.”

Mungkin, pernyataan tersebut muncul di benak banyak orang saat mengetahui fenomena tur jalan kaki (walking tour) yang sedang naik daun.

Usai pandemi COVID-19, permintaan masyarakat akan hiburan berbasis pengalaman semakin tinggi. Hal itu dibuktikan dengan sektor pariwisata yang kembali bangkit seiring dengan situasi pandemi Covid-19 yang melandai. Masing-masing destinasi seakan berpacu mengejar ketertinggalan mengingat lebih dari dua tahun para pelaku usaha harus melambat atau bahkan terpaksa berhenti.

Tur jalan kaki dipilih sebagai salah satu cara untuk menikmati sebuah destinasi dengan memberikan pengalaman yang berbeda. Wisatawan dapat lebih dekat menikmati dan mengenali budaya suatu destinasi. Cara berwisata seperti ini disinyalir dapat membangun interaksi antara wisatawan dengan masyarakat setempat, karena tidak menggunakan moda transportasi seperti bus, kereta api, atau mobil, melainkan berjalan kaki.

Sudah sejak lama Yogyakarta menjadi pilihan destinasi wisatawan lokal dan asing. Tidak heran karena provinsi ini kaya akan sejarah dan budaya yang menjadi daya tarik tersendiri.

Tur jalan kaki menjadi salah satu bisnis wisata baru yang potensial. Sebenarnya sudah banyak kegiatan tur jalan kaki di Yogyakarta, namun salah satu tur jalan kaki yang cukup menarik perhatian saya adalah Djedjak Rasa. Berbeda dengan beberapa tur jalan kaki lainnya, Djedjak Rasa fokus menawarkan pengalaman mengenal daerah Yogyakarta lewat kuliner.

Menurut saya, program tur kuliner berjalan kaki ini bisa menjadi cara yang unik untuk berwisata. Djedjak Rasa memberikan beberapa program tur dengan destinasi yang berbeda seperti Telusur Rasa Kotagede, Telusur Rasa Pakualaman, dan Telusur Rasa Malioboro. Ketiga tur ini dipasarkan melalui sosial media Djedjak Rasa dan dijual per batch, tidak secara berkala. Hal ini membuat wisatawan yang ingin merasakan pengalaman Telusur Rasa, harus update dengan jadwal Djedjak Rasa di akun sosial medianya.

Saya pertama kali mendengar Djedjak Rasa lewat Instagram Story seorang teman. Saya langsung tertarik untuk ikut saat mengetahui ada tur jalan kaki yang berfokus pada kuliner Kotagede. Wisatawan walking tour harus mendaftar terlebih dahulu karena jumlahnya dibatasi maksimal 20 peserta. Karena tingginya minat wisatawan, saat saya mendaftar ternyata slotnya sudah habis.

Untung saja, saya bisa mengikuti Djedjak Rasa batch selanjutnya yang diadakan pada bulan depan. Saya merogoh kocek sekitar 85.000 dan setelah itu diberi info mengenai titik kumpul juga do’s and don’ts selama tur berlangsung. 

Dalam sebuah tur, pemandu wisata (tour guide) memegang peranan penting sebagai pemberi informasi mengenai tempat-tempat ikonik yang dikunjungi. Djedjak Rasa pun menghadirkan pemandu wisata yang sesuai dengan destinasinya. Keberadaan pemandu wisata sangat bermanfaat dalam memberi informasi sebuah destinasi dengan cara yang menarik dan edukatif, sehingga membuat pengalaman wisata menjadi lebih menyenangkan dan berkesan.

Dokumentasi Djedjak Rasa

Tur jalan kaki juga harus bekerjasama dengan masyarakat setempat karena biasanya destinasi yang dikunjungi bukan tempat yang secara umum masuk kategori “tempat wisata”. Sehingga, perlu ada komunikasi untuk menentukan tempat parkir, titik berkumpul, tempat beristirahat, warung terdekat, hingga toilet yang merupakan hal krusial dalam sebuah tur. Kerjasama antara masyarakat dengan pengelola tur juga bisa berbentuk titik destinasi yang ingin dituju.

Dalam kasus ini, Djedjak Rasa bekerjasama dengan produsen salah satu kue tradisional khas Kotagede, yaitu Kembang Waru. Wisatawan dapat melihat langsung pembuatan Kembang Waru yang masih menggunakan oven tradisional. Produsen pembuatan Kembang Waru yang dipilih adalah Kembang Waru Pak Bas, yang membuat destinasi ini menarik, Pak Bas pandai bercerita, entah mengenai sejarah Kembang Waru sampai cerita-ceritanya tentang Yogyakarta. Tentu, tidak semua titik destinasi, memiliki pelaku-pelaku budaya yang pintar berkomunikasi dan presentasi, sehingga kesempatan bertemu sosok seperti Pak Bas merupakan sebuah pengalaman yang menurut saya menarik.

Dokumentasi pribadi & dokumentasi Djedjak Rasa

Selain mengunjungi produsen Kembang Waru, Djedjak Rasa juga mengajak wisatawan untuk mengunjungi Pasar Kotagede. Pasar Kotagede merupakan pasar tertua di Yogyakarta. Pasar ini dibangun pada masa kerajaan Mataram tepatnya pada masa pemerintahan Panembahan Senopati di abad-16. Bangunan Pasar Kotagede sendiri merupakan bangunan cagar budaya. Tidak hanya itu saja, wisatawan juga diajak berkeliling gang-gang di daerah Kotagede yang banyak merupakan cagar budaya.

Sebagai kota bersejarah, bekas ibukota Kerajaan Mataram Islam yang berdiri tahun 1532 M. Kotagede merupakan daerah budaya dengan banyak peninggalan sejarah yang terlihat dari arsitektur bangunan maupun kehidupan sosial budaya. Hal itu membuat Kotagede menjadi destinasi yang cukup populer di Yogyakarta, berbagai macam tur yang ditawarkan di Kotagede  kian menjamur, namun melalui Tur Jalan Kaki Djedjak Rasa, sejarah dan budaya Kotagede dapat tersampaikan melalui cara yang unik, lewat makanan.

Dokumentasi Djedjak Rasa

Menurut saya, makanan adalah cara paling asik untuk mengenal sejarah bahkan nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat di daerah yang dikunjungi. Pulang tidak hanya membawa memori namun juga perut yang kenyang. Walking tour merupakan cara paling singkat namun padat untuk berkenalan dengan sebuah destinasi. Kita tidak hanya melihatnya sebagai objek, namun dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat yang ada di sana.

Tur Kuliner Djedjak Rasa dapat menjadi inspirasi bagi kota-kota lain di Indonesia. Dari Sabang hingga Merauke, keanekaragaman gastronomi Indonesia dapat menjadi daya tarik bagi para wisatawan yang hendak berkunjung. Jika setiap destinasi di Indonesia mampu mengelola walking tour dengan baik, pasti akan memberikan sumbangsih positif terhadap ekonomi kreatifnya, salah satu caranya dengan menyediakan sumber daya manusia yang produktif dan mampu mem-branding destinasi, sesuai dengan budaya, serta kearifan lokal yang mendampinginya.

Penulis

Maria Kilapong, Mahasiswa Program Studi Tata Kelola Seni, Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta