Kekayaan sumber daya alam merupakan sektor ekonomi kreatif dengan potensi pengelolaan yang dapat mencakup berbagai sektor ekonomi masyarakat setempat lainnya. Salah satunya adalah Goa Jatijajar yang terletak di kecamatan Ayah, kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Sebagai sebuah destinasi parwisata unggulan, Goa Jatijajar telah mengalami berbagai perkembangan dalam sisi pegelolaan venue. Akan tetati, hingga 10 tahun terakhir fakta di lapangan menunjukan perkembangan ini tidak diimbangi dengan inisiasi pemerintah untuk memperbaiki kondisi jalan yang berlubang.
Sejarah Gua Jatijajar
Gua Jatijajar ditemukan pada tahun 1802 oleh seorang petani bernama Jayamenawi yang memiliki lahan pertanian di atas goa tersebut. Pada saat mengambil rumput, Jayamenawi jatuh ke sebuah lubang yang ternyata merupakan ventilasi yang berada di langit-langit gua. Lubang ini memiliki garis tengah 4 meter dan tinggi 24 meter. Setelah gua itu ditemukan, Bupati Ambal saat itu langsung meninjau lokasi. Pada proses peninjauan itu dijumpai dua pohon jati yang tumbuh sejajar pada tepi mulut goa sehingga goa ini kemudian dinamakan “Gua Jatijajar”
Gua ini terbentuk dari kapur dan memiliki panjang keseluruhan 250 meter. Di dalam gua terdapat gugusan stalaktit dan stalagmit yang menjadi daya tarik bagi pengunjung. Selain itu terdapat juga 7 sendang, meskipun yang dapat diakses hanya 4 sendang yaitu Sendang Mawar, Sendang Kantil, Sendang Jombor, dan Sendang Puserbumi.
Selain 7 sendang, Gua Jatijajar juga dipenuhi deorama yang terdiri dari 32 patung yang mengisahkan legenda Lutung Kasarung. Patung-patung ditempatkan di sudut-sudut gua yang setiap bagiannya seolah menggambarkan jalan cerita sehingga pengunjung seperti melihat peristiwa dalam legenda yang berurutan dari mulut hingga pintu keluar gua.
Pada abad ke-14 sebagian dari wilayah Kabupaten Kebumen adalah termasuk wilayah kekuasaan Pajajaran yang pemerintahannya berpusat di Bogor (Batutulis) Jawa Barat. Kerajaan ini kemudian terpisah menjadi dua bagian, dimana Kali Lukulo sebagai batasnya. Sebelah Timur kali masuk wilayah kerajaan Majapahit dan wilayah barat masuk ke wilayah kerajaan Pajajaran. Adapun hubungannya dengan Gua Jatijajar adalah dikatakan bahwa Raden Kamandaka (Lutung Kasarung) yang merupakan Putera Mahkota dari kerajaan Pajajaran pernah bertapa di Gua Jatijajar.
Proses dan Perkembangan Objek Wisata
Pembangunan gua jatijajar menjadi objek wisata dimulai pada tahun 1975 yang diinisiasi oleh Suparjo Rustam sebagai Gubernur Jawa Tengah dengan Supeno Suryodiprojo sebagai Bupati Kebumen pada masa itu. Pembangunan dimulai dengan proses mengganti rugi tanah penduduk sekitar yang terkena seluas 5,5 hektar. Setelah itu Gubernur menunjuk seorang seniman deorama Saptoto sebagai pimpinan cv.AIS.
Selain pembuatan deorama, ada beberapa fasilitas yang sudah dibangun sejak semula yaitu pemasangan lampu listrik dan trap-trap beton untuk mempermudah akses pengunjung. Setiap tahunnya objek wisata Gua Jatijajar semakin berkembang dalam sisi fasilitas, seperti area bermain anak, sarana ibadah, warung makan, hingga pasar oleh-oleh yang terdiri dari gerai-gerai beragam kuliner khas Kebumen dan juga kerajinan-kerajinan tangan bertemakan Gua Jatijajar.
Dilansir dari kemubenkab.go.id, Pemerintah telah melakukan revitalisasai pada tahun 2016. Pintu Masuk kawasan wisata berada di sebelah barat sehingga dapat di akses langsung melalui Gua Dempok yang berada tepat di samping kiri pintu masuk terminal Jatijajar yang juga baru selesai direnovasi. Design lokasi ini memudahkan wisatawan yang datang dalam jumlah besar. Seperti contohnya rombongan Study Tour Sekolah Dasar yang biasanya menggunakan bis-bis ¾ sehingga membutuhkan lahan parkir yang lebih luas. Design ini juga berdampak baik pada tata kelola objek wisata itu sendiri. Khususnya pada posisioning yang mempengaruhi flow perjalanan wisatawan mulai dari turun di terminal, menuju gerbang masuk gua, setelah keluar pintu gua wisatawan akan menemui warung-warung makan, kemudian perjalanan keluar akan diakhiri dengan pasar seni untuk membeli oleh-oleh.
Hal ini berdampak baik bagi warga yang berjualan di warung-warung makan maupun di gerai-gerai pasar seni Regulasi atau flow perjalanan ini telah memotivasi wisatawan untuk membeli setidaknya salah satu dari produk-produk yang ditawarkan.. Sesuai dengan tujuan revitalisasi, design terbaru ini berdampak bagi minat para wisatawan untuk datang kembali. Namun sayangnya, revitalisasi objek wisata Goa Jatijajar yang dikisarkan meraup biaya sebesar 10 miliyar rupiah ini tidak diimbangi dengan pembangunan akses jalan raya.
Jalan Pulang
Sebagai seseorang yang dilahirkan di desa pringtutul yang hanya berjarak kurang lebih 6 km dari Jatijajar, “Goa Jatijajar” sudah menjadi taman bermain favorit saya dan teman-teman sebaya sejak masa kanak-kanak. Sekitar 15 tahun yang lalu saat saya masih berada di bangku kelas Sekolah Dasar, hampir setiap pulang sekolah saya dan teman-teman berjalan kaki bersama-sama ke Gua Jatijajar hanya untuk berenang di kolam bawah Goa yang merupakan bendungan aliran mata air dari sendang di dalam Goa.
Setiap pulang dari perantauan sejak tahun 2013, Gua Jatijajar adalah salah satu tujuan utama untuk dikunjungi. Gua Jatijajar selalu membawa saya pada suasana nostalgia atas memori masa kecil dengan segala kebahagiaannya. Atas kecintaan itu pula, dewasa ini saya merasakan beberapa keresahan mengenai Gua Jatijajar. Hingga hari ini, “Jalan pulang” saya masih penuh dengan lubang. Kondisi Jalan Raya Jatijajar semakin hari semakin mengalami kerusakan parah.
Jalan menuju Gua Jatijajar merupakan akses jalan raya satu-satunya menuju objek-objek wisata lainnya seperti Gua Petruk, Pantai Ayah, dan objek wisata di kecamatan Ayah lainnya. Baik wisatawan dari arah timur seperti Jogja dan Jawa Timur maupun dari arah barat seperti Banyumas hingga wisatawan dari Jakarta, Jawa Barat dan lainnya, akan melewati jalan raya yang sama untuk menuju destinasi pariwisata di kecamatan Ayah.
Jika dihitung sejak saya merantau saja, Kebumen sudah 4 kali ganti Bupati, tetapi hal itu tidak berpengaruh sama sekali kepada inisiasi pemerintah daerah untuk memperbaiki akses jalan raya menuju Gua Jatijajar. Saya hanya khawatir, kebahagiaan wisatawan yang datang juga tercecer di jalan pulang.
Penulis
Hasdian Kharisma Priani