Home Entertainment Review Film The F**ck it List : Kegilaan Medsos & Antitesis Dunia...

Review Film The F**ck it List : Kegilaan Medsos & Antitesis Dunia Pendidikan

“Apakah Kamu pernah bermimpi membuat satu kebodohan, sehingga mengacaukan seluruh hidupmu? Setelah bertahun-tahun dan puluhan ribu jam Kau korbankan untuk mempersiapkan semua itu, semua musnah dalam sekejap!

Kalimat simpel itu menjadi intisari dari film bertajuk ‘F**ck it List’ besutan Michael Duggan yang tayang di platform hiburan Netflix. Sesuai judulnya, Kita akan segera disuguhi kebodohan demi kebodohan dari tokoh utama film yang rilis pada 7 Agustus 2020 ini.

Film ini membidik tingkah polah Brett Blackmore (Eli Brown) dan teman-temannya saat duduk di bangku SMA hingga akhirnya diterima di universitas ternama, Harvard. Cita-cita dan perjuangan anak-anak muda ini dikisahkan secara runut  dengan campuran scene yang santai, kocak, dan sesekali menegangkan. Walhasil, penikmat film ini tidak perlu berfikir ‘njlimet’ untuk mengikuti alur cerita yang disuguhkan.

Adegan menegangkan dimulai saat Brett dan temannya tanpa sengaja menyebabkan seluruh Gedung administrasi sekolah terbakar. Kejadian tersebut dipicu oleh terinjaknya sebuah pipa oleh teman Brett.

Pihak sekolah menyatakan bahwa Brett Blackmore sebagai penyebab tunggal terjadinya ledakan dan kebakaran. Brett mengatakan bahwa hanya dialah yang bersalah. Padahal sebenarnya Brett bisa saja beralibi bahwa ia bukanlah pelaku tunggal. Di sini, tampak Michael Duggan brusaha menyisipkan pesan tentang arti sebuah persahabatan.

Dalam adegan lain, Brett memposting sebuah video di media sosial. Di videonya, ia berkeluh dan merasa bosan terus berada dalam aturan dan keterkungkungan. Ia harus melakukan segala hal yang diinginkan orang tuanya tanpa tahu apa yang diinginkan. Brett merasa terbebaskan ketika dia membeberkan daftar hal yang  ingin dilakukannya di luar  keteraturan. Yakni, bebas menyatakan perasaannya, bolos sekolah, berwisata ke timur, bersantai,  dan balapan saat tour.

Ternyata video “daftar kebebasan” Brett viral, menyebar di seluruh dunia. Keinginan-keinginan ala Brett itu mau tak mau menjadi inspirasi dan bahkan memprovokasi anak-anak muda untuk membuat “daftar kebebasannya” sendiri.

‘Daftar Brett’ itu nyatanya mengundang kemalangan besar bagi Brett. Dalam waktu singkat, Brett tidak lulus SMA, meskipun sebelumnya diterima di tujuh dari delapan universitas terbaik.

Sebagai sutradara sekaligus penulis scenario, Michael Duggan tampaknya sengaja menghadapkan jargon kebebasan dengan kesuksesan dalam bagian ini. Dimana, kebebasan yang menabrak aturan akan memusnahkan semua perjuangan. Sekali pun seseorang telah berusaha keras, ‘dunia’ akan terus mengukur dan menimbang kekurangan dan kesalahan yang dimiliki. Jika “kebebasan ala Brett dimaknai sebagai sisi negatif, sisi negatif ini akan menutupi keseluruhan sisi positif yang dimiliki seseorang.

Anti klimaks dari kisah Brett ini dimulai. Kejutan dan keajaiban tersaji Ketika perguruan tinggi terkemuka Harvard menyatakan terkesan dengan inisiatif  dan daftar yang dibuat Brett. Pihak Havard meminta Brett untuk menulis sebuah esai mengenai segala hal yang dia pelajari.

Inspirasi pun didapatkan Brett. Kisah perjuangan dan kesuksesan Douglass Ebeyer menginsipirasi esai Brett. Dee adalah seorang tunawisma yang ternyata sempat bersekolah di sekolah Brett. Dee tercatat sebagai lulusan terbaik di sekolah Brett.

Brett mulai menulis esai. Tetapi, kesulitan menciptakan difinisi tentang ‘kesuksesan’ menjadi hambatan. Brett tidak mengarti arti kesuksesan itu seperti apa? apakah mengenai uang? Atau sebuah pekerjaan besar?  Studi menunjukan bahwa IPK dan nilai ujian standar bukan merupakan ukuran yang akurat untuk keberhasilan akademik, profesional, atau pribadi seseorang di masa depan. Kesulitan itu membuat Brett patah semangat. Bahkan Brett menyatakan Harvard ‘bukan untuknya’.

Kejutan menjelang ending film kembali tersaji. Pihak Harvard menyatakan bahwa esai Brett justru membuat Harvard semakin tertarik untuk mengajak Brett bergabung. Akhirnya, secara resmi Harvard  menyatakan bahwa Harvard telah menerima Brett Blackmore menjadi bagiannya.

Happy ending film ini ditutup dengan kompilasi kesuksesan para pemerannya. Semuanya sukses mewujudkan cita-citanya. Douglas Ebeyer berhasil mendirikan universitas sendiri. Sedangkan Les menjadi tukang ledeng terkenal, dan Brett sendiri bisa berkeliling dunia.

Perlu diakui, meskipun dari sisi scenario film ini tergolong “biasa-biasa saja”, acting para pemeran yang sangat baik membuat film F**ck it List cukup menarik untuk ditonton. Eli Brown mampu memerankan karakter Brett Blackmore dengan sangat baik, begitu juga karakter lainnya.

Sebagai satu kesatuan adegan, di film ini terselip adegan-adegan yang sebenarnya sangat menganggu. Salah satunya, adegan saat Brett pergi bersama teman-temannya dan membakar beberapa buku fisika, kimia, biologi,  dan buku-buku lainnya. Jika film ini ingin menyuguhkan kesuksesan yang dilatari kegigihan dalam berusaha dan belajar, pembakaran buku-buku pelajaran menjadi berlebihan  dan kontradiktif.

Adegan lain yang berlebihan adalah aksi Kayla yang menghancurkan mobil seorang pria. Demi menjalankan “list” yang dibuat, Kayla tidak saja berbuat kekonyolan, tetapi telah berbuat criminal.

Terlepas tujuan mengejar rating, dari keseluruhan cerita yang tersaji, film F**ck if List berusaha memunculkan imej pengingkaran langsung terhadap dunia Pendidikan formal. Di mana, Pendidikan  akan dianggap sebagai ‘pengejaran palsu’ dan tidak berguna. Dimunculkannya “peran” Harvard  justru mempertegas kesan itu. Apakah Harvard mendukung teori “kesuksesan” dimulai dengan kebebasan berekspresi tanpa batas ala Brett?

Hidup itu seperti apa yang ada di dasar laut. Cita-cita boleh setinggi langit, tetapi masa depan susah ditebak. Menjadi diri sendiri ala Brett untuk mendapatkan kesuksesan, di satu sisi bisa dibenarkan. Namun, mewujudkan kesuksesan dengan Pendidikan setinggi-tingginya juga harus dibenarkan.

Penulis: Nadia FR