Home Entertainment Review “The Prom” : Glorifikasi Kontroversi Sebuah Hubungan

Review “The Prom” : Glorifikasi Kontroversi Sebuah Hubungan

Kontroversi fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) tak pernah selesai. Ruang-ruang  seminar juga tidak pernah sepi dari tema LGBT. Bagaimana jika kontroversi LGBT disajikan dalam kemasan sinematografi?

Ryan Murphy, ikut menjajal isu LGBT dalam karya layar lebar bertajuk “The Prom” (Desember 2020). The Prom adalah sebuah adaptasi musikal Broadway yang terinspirasi dari kisah nyata yang terjadi pada tahun 2010 di Fulton, Mississippi.

Terlepas dari dukung mendukung atau menentang LGBT, diakui ataupun tidak, Ryan berharap kontroversi LGBT menjadi “energi utama” dalam film The Prom. Singkatnya, Ryan telah melakukan “glorifikasi” kontroversi LGBT dalam karya layar lebar.

Di era perang dunia kedua, film Hollywood berjudul “The Imitation Game”, melampaui ekspektasi meraih simpati banyak penonton, tetapi juga menuai kontroversi. Bahkan, Perdana Menteri Britania Raya, Winston Churchill, berkomentar keras terkait film yang mengangkat kisah nyata sosok gay Alan Turing tersebut. Churchill menyebut  gay adalah kejahatan perang.

Strategi Ryan di film The Prom perlu diacungi jempol. Kontroversi isu LGBT sudah menjadi etalase terdepan. Etalase selanjutnya adalah gemerlap dunia panggung, mengingat film ini berjenis film drama musikal. Selebihnya adalah tampilnya bintang-bintang film top dunia seperti Meryl Streep, Nicole Kidman, James Corden, dan Kerry Washington.

The Prom, diawali dengan sajian keputusasaan artis gank Broadway yang reputasinya mulai pudar. Dee Dee Allen (Meryl Streep) dan  dan Barry Glickman (James Corden) terus mengkhawatirkan penilaian negatif para kritikus terhadap penampilan drama musikal mereka. Tidak ingin karirnya tamat, Dee berusaha mencari terobosan agar citra panggung mereka bisa kembali, minimal tidak terus merosot.

Dee dan Barry pun meminta bantuan Trent Oliver (Andrew Rannells) dan Angie Dickinson (Nicole Kidman). Angie, yang juga seorang chorus girl, membaca di sosial media bahwa di Indiana heboh pembelaan kaum liberal pada seorang lesbian Emma (Jo Ellen Pellman). Dikabarkan, Emma  bersikeras mengajak pacar wanitanya Alyssa (Ariana DeBose) ke acara prom. Sementara pihak sekolah, kecuali sang kepala sekolah, menolak digelar prom jika ada siswa yang berani unjuk diri sebagai LGBT. Dengan berbagai pertimbangan, Dee memutuskan cara untuk mengatrol reputasi, yakni mengeksploitasi nasib Emma. Dee cs pun berangkat ke Indiana.

Konflik dalam The Prom menuju klimaks, saat kebohongan Emma terungkap, bahwa sejatinya prom yang akan diselenggarakan untuk dua perhelatan. Yakni untuk semua siswa di sekolah Emma, dan satu prom lagi eksklusif untuk Emma. Jika Dee dan temannya secara diam-diam ingin mengeksploitasi kisah Emma, di sisi lain Emma sendiri berbohong soal prom pribadinya.

Sebagai karya adaptasi kisah nyata, The Prom terbagi menjadi dua bingkai. Yakni, ‘kisah’ Dee dan gank Broadway dan ‘kisah’ Emma dengan isu LGBT. Ryan Murphy, seharusnya memberikan porsi yang lebih besar untuk kisah Dee, ketimbang kisah Emma.

Ryan terlalu berlebihan mengeksplorasi hubungan sejenis Emma dan Alyssa. Suasana batin Emma yang  merasa takut untuk mengakui jati dirinya sebagai lesbian tergambar dalam alur cerita yang lambat. Di sisi lain, perjuangan Dee dan temannya yang sampai menguras seluruh harta yang mereka miliki demi prom pribadi Emma, disajikan dalam alur cerita yang lebih cepat.

The Prom memang dilatarbelakangi berkembangnya narasi adanya ketidakadilan yang harus dihadapi pelaku LGBT di Amerika Serikat. Pelaku LGBT diperlakukan dengan cara yang berbeda di Amerika. Penampilan live Emma di channel Youtube menjadi puncak dari “eksploitasi” isu LGBT dalam The Prom. Emma menyanyikan lagu secara live, tidak lain sebagai upaya “provokasi” kepada seluruh orang, bahwa mereka semua tidak paham siapa dirinya. Emma juga memaksa semua orang untuk mengakui eksistensinya sebagai seorang lesbian.

Sebagai catatan, setiap kekurangan dari film ini  bisa ditutupi dengan maksimalnya peran bintang-bintang top yang mendukung The Prom. Olah kamera yang apik, visualisasi yang penuh warna, serta  mewahnya dekorasi dan kostum pemeran, memberikan kesan glamour, pas dengan setting dunia panggung yang gemerlap dan hedonis.

Perlu diakui, film The Prom membawa pesan yang mendalam soal bagaimana menghormati perbedaan. Hanya saja, berkaca pada latar belakang film yang mengeksploitasi LGBT, penonton potensial di negara beradat “Ketimuran” akan bersikap resisten. Secara positif, film ini tetap mampu memberikan pesan lain kepada penonton untuk tidak perlu takut untuk menjadi diri sendiri karena setiap orang punya caranya masing-masing untuk menikmati hidup. Ketidakadilan menorehkan luka yang dalam kepada siapapun yang merasakannya. Perjuangkan semua kelebihan, tutupi kekurangan. Dan jangan pernah menyerah untuk terus berani melangkah ke depan.

Penulis: Nadia FR