
Tepat di momen Lebaran 31 Maret 2025, bioskop Indonesia diramaikan oleh kehadiran Jumbo, sebuah film animasi petualangan fantasi garapan Visinema Animation yang disutradarai oleh Ryan Adriandhy dalam debut penyutradaraannya. Dengan skenario yang ditulis bersama Widya Arifianti, film ini menawarkan perpaduan cerita emosional, visual yang memanjakan mata, dan pesan universal yang relevan untuk segala usia. Setelah lima tahun proses produksi yang melibatkan lebih dari 400 kreator lokal, Jumbo hadir sebagai bukti ambisi industri animasi Indonesia untuk bersaing di panggung global, dengan rencana penayangan di 17 negara. Namun, seberapa jauh film ini berhasil memenuhi ekspektasi tersebut? Mari kita bedah secara mendalam.
Sinopsis
Jumbo mengisahkan Don (disuarakan oleh Prince Poetiray), seorang anak laki-laki bertubuh besar yang kerap diejek dengan julukan “Jumbo” oleh teman-temannya, terutama Atta (Muhammad Adhiyat). Don, yang yatim piatu, tinggal bersama Oma (Ratna Riantiarno) dan menyimpan buku dongeng berjudul Pulau Gelembung sebagai kenangan dari ayah (Ariel Noah) dan ibunya (Bunga Citra Lestari). Ketika buku itu dicuri oleh Atta, Don bersama sahabatnya, Nurman (Yusuf Ozkan) dan Mae (Graciella Abigail), memulai petualangan untuk merebutnya kembali. Dalam perjalanan, mereka bertemu Meri (Quinn Salman), seorang gadis misterius dari dunia lain yang mencari orang tuanya, membawa elemen supranatural ke dalam cerita.
Struktur naratif Jumbo mengikuti pola klasik tiga babak dengan pengenalan karakter yang kuat di awal, konflik yang meningkat di tengah, dan resolusi emosional di akhir. Film ini membuka cerita dengan nuansa ringan dan hangat, memperkenalkan Don sebagai protagonis yang relatable—seorang anak yang berjuang melawan perundungan dan kerinduan akan keluarga. Babak tengah memperluas dunia cerita dengan masuknya Meri, menggeser tone dari drama keluarga menjadi petualangan fantasi. Klimaksnya, yang melibatkan konfrontasi dengan elemen supranatural dan penyelesaian hubungan Don dengan masa lalunya, dirancang untuk memancing air mata sekaligus memberikan kepuasan naratif.
Namun, alur cerita tidak sepenuhnya mulus. Transisi dari drama anak-anak ke fantasi terasa agak mendadak, dan beberapa subplot—like dinamika Atta dengan kakaknya, Acil (Angga Yunanda)—kurang dieksplorasi secara mendalam, membuatnya terasa seperti tambahan yang belum terintegrasi penuh. Meski begitu, kekuatan naratif Jumbo terletak pada kemampuannya menyampaikan tema universal: persahabatan, kehilangan, dan keberanian untuk membuktikan diri, yang disampaikan dengan dialog berima yang khas dan mudah diingat.
Animasi dan Desain Visual
Dari segi teknis, Jumbo menandai lompatan signifikan dalam kualitas animasi Indonesia. Dibandingkan karya Visinema sebelumnya seperti Nussa (2021), Jumbo menampilkan peningkatan dalam hal tekstur, gerakan, dan desain karakter. Setiap frame dirancang dengan detail tinggi—mulai dari tekstur kain pada pakaian karakter, pantulan cahaya di genangan air, hingga ekspresi wajah yang hidup. Palet warna pastel yang cerah menciptakan suasana hangat, mengingatkan pada estetika film Pixar seperti Up atau Coco, namun tetap mempertahankan identitas lokal melalui latar Kampung Seruni yang terasa sangat Indonesia.
Gerakan karakter dalam Jumbo terlihat smooth dan konsisten, menunjukkan kerja keras tim animator dalam menyusun ribuan ilustrasi. Desain karakter juga patut diacungi jempol: Don dengan tubuh besar namun ekspresi lembut mencerminkan kerentanannya, sementara Meri dengan aura misteriusnya berhasil menarik perhatian tanpa berlebihan. Namun, ada beberapa kekurangan teknis. Beberapa latar belakang terasa statis, dan tekstur tertentu—like bangunan atau vegetasi—kadang terlihat kurang halus dibandingkan standar animasi internasional. Ini mungkin mencerminkan keterbatasan teknologi atau anggaran, tetapi tidak mengurangi keseluruhan pengalaman visual yang tetap memukau.
Debut Ryan Adriandhy sebagai sutradara layar lebar patut diapresiasi. Sebagai animator dan komika, ia membawa sentuhan personal ke dalam Jumbo, terutama dalam penggambaran hubungan Don dengan keluarganya yang terinspirasi dari pengalaman pribadinya. Pendekatannya dalam mengemas cerita untuk semua usia berhasil: anak-anak akan terhibur oleh petualangan dan humor, sementara penonton dewasa akan tersentuh oleh lapisan emosional tentang duka dan kenangan. Namun, ambisinya untuk memadukan berbagai genre—drama, fantasi, bahkan sedikit horor—terkadang membuat fokus cerita sedikit buyar.
Pengisi suara menjadi salah satu kekuatan besar Jumbo. Prince Poetiray menghidupkan Don dengan nada polos namun penuh determinasi, sementara Ratna Riantiarno sebagai Oma memberikan kehangatan yang autentik. Bunga Citra Lestari dan Ariel Noah, meski hanya muncul dalam kilas balik, berhasil menyampaikan emosi mendalam yang memperkuat ikatan Don dengan orang tuanya. Quinn Salman sebagai Meri menawarkan keseimbangan antara misteri dan kelembutan, sedangkan Muhammad Adhiyat sebagai Atta membawa energi antagonis yang tidak berlebihan. Angga Yunanda sebagai Acil, meski perannya kecil, memberikan warna tersendiri dengan intonasi santai yang khas. Proses pengisian suara yang dilakukan sebelum animasi selesai—memaksa aktor mengandalkan imajinasi—terbukti efektif, menghasilkan dialog yang terasa alami dan sinkron dengan gerakan karakter.
Musik dan Sound Design
Skor musik karya Ofel Obaja Setiawan menjadi tulang punggung emosional Jumbo. Aransemennya yang sederhana namun penuh nuansa mendukung setiap adegan, dari momen ceria hingga klimaks yang mengharukan. Lagu tema Selalu Ada di Nadimu yang dinyanyikan Bunga Citra Lestari adalah puncak emosional film ini, dengan lirik yang sederhana namun menusuk, mengingatkan pada lagu-lagu ikonik Disney. Selain itu, lagu Kumpul Bocah versi Maliq & D’Essentials membawa nostalgia yang memperkuat identitas lokal film ini. Sound design-nya juga solid, dengan efek suara seperti derit sepeda atau hembusan angin yang menambah kedalaman dunia Jumbo.
Pencapaian
Sebagai film Lebaran 2025, Jumbo berhasil menarik lebih dari 140.000 penonton dalam tiga hari pertama saja, bersaing dengan judul lokal lain seperti Pabrik Gula dan Qodrat 2. Keberhasilannya tidak hanya terletak pada angka, tetapi juga pada kemampuannya membawa animasi Indonesia ke level baru. Dengan rencana tayang di 17 negara, Jumbo membuktikan bahwa cerita lokal dengan nilai universal—persahabatan, keluarga, dan ketahanan—bisa diterima secara global. Film ini juga menjadi tonggak penting dalam memperkuat industri animasi Tanah Air, menunjukkan bahwa dengan sumber daya dan dedikasi, karya lokal bisa bersaing dengan produksi internasional.
Meski banyak dipuji, Jumbo bukan tanpa cela. Narasinya kadang terasa terlalu padat, dengan elemen fantasi yang belum sepenuhnya menyatu dengan drama inti. Beberapa karakter pendukung, seperti Atta dan Acil, bisa dikembangkan lebih jauh untuk memperkaya konflik. Dari sisi teknis, meskipun animasinya mengesankan, ada ruang untuk meningkatkan detail latar belakang dan konsistensi tekstur agar mencapai standar global yang lebih tinggi. Durasi 1 jam 42 menit juga terasa sedikit panjang untuk penonton anak-anak, terutama di babak tengah yang agak lambat.
Kesimpulan
Jumbo adalah pencapaian luar biasa bagi animasi Indonesia. Dengan visual yang memukau, cerita yang menyentuh hati, dan eksekusi teknis yang solid, film ini layak disebut sebagai langkah besar menuju pengakuan global. Ryan Adriandhy dan timnya berhasil menghadirkan tontonan yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menginspirasi, terutama bagi generasi muda untuk bermimpi besar. Meski ada kekurangan, kelebihannya jauh lebih menonjol, menjadikan Jumbo wajib ditonton oleh keluarga Indonesia—dan dunia. Skor: 8.5/10.