Dalam sains, penghargaan diberikan kepada orang yang meyakinkan dunia, bukan orang yang pertama kali memiliki ide
– Francis Galton –
Di masa sekarang, penyakit cacar bukanlah hal yang menakutkan. Namun selama berabad-abad lalu, cacar adalah monster yang pernah menghancurkan peradaban umat manusia.
Cacar tak pandang kasta.
Di abad ke-18, 400.000 orang di Eropa meninggal setiap tahunnya, sedangkan sepertiga yang selamat menjadi buta. Gejala cacar (di Inggris waktu itu dikenal dengan istilah “speckled monster – monster bintik-bintik)” biasanya muncul tiba-tiba dan mematikan. Fatality rate atau tingkat kematiannya bervariasi dari 20% hingga 60%. Sebagian korban yang selamat mempunyai bekas luka.
Jika ditelaah lebih detil, Angka fatalitas cacar pada bayi waktu itu bahkan lebih tinggi, mendekati 80% di London dan 98% di Berlin. Bayangkan hanya ada 2 yang hidup jika ada 100 bayi terkena cacar!
Edward Jenner dan Gadis Pemerah Susu
Kita perlu berterima kasih kepada Edward Jenner, seorang dokter asal Inggris yang tinggal dan berpraktik di Berkeley, sebuah kota di barat daya Inggris. Ia lahir pada bulan Mei, tepatnya tanggal 17 tahun 1749.
Selain berprofesi sebagai dokter, Ia juga piawai memainkan violin dan bergabung dengan klub musik. Terkadang, di sela-sela hobinya meneliti burung dan daur tidur landak, ia masih sempat membuat lirik dan puisi.
Ketertarikan Jennner pada penyakit cacar dimulai pada tahun 1796. Di titik ini ia mungkin tak tahu bahwa yang dilakukannya akan menjadi tonggak awal dari proses panjang pemberantasan penyakit cacar.
Selama bertahun-tahun, ia mendengar cerita bahwa perempuan-perempuan yang bekerja sebagai pemerah susu sapi sering dijangkiti penyakit cacar sapi (cowpox), sejenis cacar dengan kadar lebih ringan. Yang menarik, mereka yang sudah terjangkit cacar sapi ini kebal terhadap penyakit cacar.
Hal ini membangkitkan teori dalam kepala Jenner, bahwa cacar sapi bisa ‘ditularkan’ dari satu orang ke orang lain sebagai mekanisme perlindungan yang memang sengaja dilakukan terhadap penyakit cacar yang asli.
Pada bulan Mei 1796, Edward Jenner bertemu dengan gadis pemerah susu bernama Sarah Nelms yang memiliki luka cacar sapi di bagian tangan dan lengannya.
Pada tanggal 14 Mei 1796, ia menggunakan bahan dari luka Nelms untuk diinokulasikan (ditanamkan) ke bocah berusia 8 tahun bernama James Phipps. (Well, Jika dilakukan di masa sekarang, Jenner mungkin akan dipecat karena melanggar kode etik kedokteran!).
Yang terjadi selanjutnya, Phipps mengalami demam ringan dan rasa tidak enak di ketiaknya. Sembilan hari setelah penanaman itu, ia merasa kedinginan dan kehilangan nafsu makan, tetapi di hari berikutnya keadaannya menajdi jauh lebih baik.
Jenner makin percaya diri dengan teorinya.
Pada bulan Juli 1796, Jenner kembali melakukan inokulasi ke tubuh Phipps. Namun kali ini kali ini dengan cacar yang sesungguhnya. Phipps tidak sakit dan dan Jenner menyimpulkan bahwa proses perlindungan yang ia lakukan telah lengkap.
Istilah Vaksinasi
Ahli biologi dan kimiawan Prancis, Louis Pasteur menindaklanjuti penemuan Jenner ini hampir seabad kemudian dengan membuat vaksin rabies untuk manusia. Pasteurlah yang pertama kali menggunakan istilah vaksinasi untuk teknologi medis ini.
Dr. Amesh Adalja, senior di Pusat Keamanan Kesehatan Universitas Johns Hopkins menyebutkan bahwa kata vaksin (vaccine dalam bahasa Inggris) berarti sapi dalam bahasa latin.
“Untuk menghormati Jenner, Louis Pasteur menamakan teknologi itu vaksinasi, meskipun vaksin rabies yang Ia temukan tidak ada hubungannya dengan sapi atau cacar sapi.” Terang Amesh.
Upaya Dunia Menciptakan Vaksin COVID-19
Hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada obat yang dapat menyembuhkan COVID-19.
Semua upaya yang dilakukan oleh tim medis di seluruh dunia saat ini hanya memperlambat penyebaran penyakit pernapasan Covid-19 dan menjaga daya tahan pasien. Dengan penetapan status pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) maka upaya penelitian kini sebagian diarahkan untuk menciptakan vaksin virus Corona, karena hanya vaksin yang dapat mencegah orang jatuh sakit.
Weforum menyebut 10 Januari lalu, para ilmuwan Cina mengembangkan dan berbagi sekuens genetik lengkap SARS-Cov2, virus yang menyebabkan COVID-19 yang lebih dikenal sebagai coronavirus. Beberapa perusahaan menggunakan informasi ini untuk mengembangkan vaksin yang akan mengandung sejumlah kecil kode genetik.
Guardian menyebut bahwa sekitar 35 perusahaan dan lembaga akademik sedang berlomba untuk membuat vaksin semacam itu, empat di antaranya sudah memiliki kandidat yang telah diuji pada hewan. Langkah yang paling progresif dicapai firma bioteknologi Moderna yang berbasis di Boston yang akan segera memasuki fase uji coba manusia.
Komunitas internasional bahu membahu untuk menghasilkan vaksin coronavirus. Jika vaksin dikembangkan sesuai jadwal, maka orang akan memiliki pilihan pencegahan COVID-19 sekitar tahun depan. Perlindungan dari virus tentu akan menyelamatkan banyak nyawa dan mengembalikan roda kehidupan masyarakat.