Home Health COVID-19, Memberi Kesempatan Iklim Menjadi Lebih Baik (Bag 2)

COVID-19, Memberi Kesempatan Iklim Menjadi Lebih Baik (Bag 2)

Seorang yang optimis mungkin akan melihat perubahan ini bak secercah sinar mentari yang menyembul di antara awan yang sangat gelap. Tapi itu tergantung bagaimana ketika semuanya kembali normal.

COVID-19, Memberi Kesempatan Iklim Menjadi Lebih Baik (Bag 1)

Seperti yang dikatakan oleh François Gemenne dari University of Liège, Belgia, “iklim membutuhkan penurunan berkelanjutan dalam emisi gas rumah kaca, bukan libur (sesaat-red)”. Sayangnya, bukan saja hal itu tidak mungkin terjadi, tetapi respons terhadap krisis COVID-19 ini dapat dengan mudah memperburuk keadaan.

Pemulihan jangka pendek dari emisi CO2 adalah nyata. Pada tanggal 16 Maret Glen Peters dari Pusat Penelitian Iklim Internasional Norwegia memperkirakan penurunan emisi karbon dioksida sebesar 1,2%. Hal ini dengan catatan GDP dunia tumbuh sebesar 1,5% sesuai perkiraan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for Economic Co-operation and Development – OECD) pada awal bulan. Penurunan ini tetap terjadi meskipun ekonomi dunia masih akan tumbuh. Hal ini karena peningkatan efisiensi karbon dari berbagai kegiatan ekonomi.

Namun di sisi lain, prospek ekonomi global semakin memburuk. Sebagian besar pengamat memperkirakan GDP dunia akan menyusut tahun ini, dan beberapa memperkirakan akan terjadi kontraksi sebesar 4% – dua kali lipat dari kontraksi yang terjadi setelah krisis keuangan global 2007-2009.

Hal itu akan membuat penurunan emisi semakin besar, namun tidak lama.

Di tahun 2009, emisi CO2 dari bahan bakar fosil dan produksi semen di seluruh dunia turun 1,4%. Namun, setahun kemudian naik lagi sebesar 5,8-5,9% — malah lebih cepat dibanding 2003. Pada akhir 2010, emisi tahunan menjadi lebih besar daripada sebelumnya (lihat grafik). Secara keseluruhan, krisis keuangan hanya membuat sedikit perbedaan soal kadar CO2 di atmosfer.

Analisis memaparkan bahwa kenaikan emisi setelah krisis tahun 2008 utamanya disebabkan oleh pertumbuhan cepat di beberapa negara berkembang besar, terutama China dan India. Harga bahan bakar fosil yang rendah adalah salah satu penyebabnya. Tetapi ada juga paket stimulus yang sengaja diluncurknan untuk mendorong area bisnis yang intensif (memproduksi-red) karbon, seperti industri konstruksi.

Sayangnya, ada tanda-tanda pola yang sama akan terjadi. Kanada misalnya, sedang mempersiapkan bail-out bernilai miliaran dolar untuk industri minyak dan gasnya. Begitu juga bidang maskapai.

Beberapa provinsi Cina telah mengumumkan rencana untuk pengeluaran di bidang konstruksi sebanyak 25trilyun yuan ($ 3,5trilyun). Ide-ide lain juga mucnul di Cina termasuk voucher untuk mendorong orang untuk membeli mobil.

Sementara itu, analisis dari Bloombergnef, -sebuah perusahaan riset energi bersih- , menemukan bahwa pengembangan tenaga surya mungkin terkena dampaknya, karena pemerintah sibuk memerangi virus sehingga menunda rencana-rencana tenaga surya baru serta menyepakati target bagi pertumbuhan energi terbarukan.

China telah menunda lelang untuk hak membangun beberapa pertanian surya besar. Akibatnya, – Bloombergnef memeprkirakan- , untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, jumlah kapasitas energi surya yang dipasang tahun ini bisa lebih rendah dibanding sebelumnya.

Tulisan ini ditulis kembali berdasarkan tulisan yang dimuat di The Economist berjudul: Covid-19 and climate change – The epidemic provides a chance to do good by the climate