Sebentar lagi kita akan menyambut tahun 2023. Berbagai tantangan sudah menghadang di depan, termasuk ancaman resesi global 2023. Tentunya hal itu sedikit banyak akan berpengaruh pula pada perilaku konsumen.
Perubahan perilaku belanja konsumen tersebut coba dipetakan oleh DBS Group Research melalui riset bertajuk ‘Indonesia Consumption Basket.’ Survei dilakukan ke lebih dari 700 responden Indonesia dari berbagai kelas pemasukan pada November 2022 dengan menitikberatkan tentang bagaimana inflasi dan ancaman resesi akan mengubah pola pengeluaran dan konsumsi mereka.
Hasilnya, ada 7 poin temuan dan prediski yang bisa Kamu simak di bawah ini:
1. Inflasi menjadi kekhawatiran terbesar saat ini dan konsumen menyadarinya
Berdasarkan hasil survei, sebagian besar masyarakat memandang pandemi hampir sepenuhnya berlalu, dan inflasi menjadi tantangan selanjutnya. 98% responden merasakan tren kenaikan harga. 55% masyarakat memandang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan konflik geopolitik Ukraina dan Rusia sebagai faktor utama yang menyebabkan inflasi. 19% responden menyebut disrupsi rantai pasokan akibat COVID-19, dan 16% responden menyebut kenaikan suku bunga The Fed sebagai alasan lain yang menyebabkan inflasi.
2. Kenaikan Harga BBM dan bahan makanan
Pada bulan November 2022, tingkat inflasi di Indonesia mencapai 5,42% per tahun. Namun, hasil survei DBS Group Research menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen merasa pengeluaran mereka meningkat lebih dari 10% bahkan lebih, terutama untuk kebutuhan sehari-hari seperti BBM dan bahan makanan yang mengalami peningkatan harga yang paling signifikan. Data ini menunjukkan bahwa inflasi di Indonesia ternyata lebih tinggi daripada yang tercermin dari angka statistik secara keseluruhan.
3. Prediksi inflasi yang berkepanjangan dan indikasi perubahan pola konsumsi yang cepat
Konsumen memperkirakan kenaikan tingkat inflasi akan terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama. Menurut riset, 89% responden menganggap bahwa tren ini akan berlangsung selama enam bulan ke depan dan lebih jauh, yang berarti konsumen mengantisipasi inflasi yang tinggi akan terus berlangsung hingga paruh pertama tahun 2023 atau bahkan sampai tahun 2024.
Sebagai respons terhadap perkiraan ini, sebagian besar masyarakat diperkirakan akan segera mengubah pola konsumsinya untuk beradaptasi dengan inflasi. Menurut riset, 62% responden mengaku akan mengubah perilaku konsumsinya dalam jangka waktu tiga hingga enam bulan ke depan karena mereka memperkirakan situasi inflasi yang berkepanjangan.
4. Kelas menengah ke bawah akan mengubah pola pengeluaran lebih cepat dibanding kelas menengah dan kelas menengah ke atas
Sebagian besar responden kelas menengah ke bawah (71%) akan menyesuaikan pengeluarannya jika inflasi dan harga barang-barang tetap tinggi dalam jangka waktu tiga hingga enam bulan ke depan. Sementara itu, sebagian kecil responden kelas menengah dan kelas menengah ke atas (40%) memilih untuk tidak mengubah pola konsumsinya di tengah inflasi. Dari responden kelas menengah ke atas, 56% akan menyesuaikan gaya hidupnya dalam kurun waktu tiga sampai enam bulan ke depan, sementara 7% tidak akan mengubah pola konsumsinya sama sekali.
5. Konsumen – terutama kelas menengah dan menengah ke bawah – mengambil sikap defensif untuk menghadapi dampak inflasi dan kenaikan harga
Untuk menghadapi situasi, langkah yang banyak diambil adalah menabung lebih banyak dan mengeluarkan uang lebih sedikit. Ada juga pilihan lain seperti mencari barang yang lebih murah atau meningkatkan pendapatan. Dari responden yang mengambil langkah save more, spend less, sebagian besar adalah pengguna barang yang lebih murah (19%) atau melakukan investasi untuk hasil yang lebih tinggi (20%). Sisanya memilih untuk mencari pendapatan yang lebih besar dan pemasukan tambahan (10%).
Sementara itu, hampir setengah dari masyarakat kelas menengah ke atas yang mencari pendapatan lebih tinggi dalam merespon inflasi. Mereka memilih untuk berinvestasi untuk keuntungan yang lebih besar (30%), mencari pendapatan yang lebih tinggi dan pemasukan tambahan (15%), atau tidak melakukan apapun terlepas dari adanya inflasi (2%). Menurut DBS Group Research, konsumen kelas menengah ke atas memiliki disposable income yang lebih tinggi dan keleluasaan untuk berinvestasi sehingga tidak perlu mengubah gaya hidup mereka. Sementara itu, masyarakat kelas menengah dan kelas menengah ke bawah memiliki disposable income yang terbatas, sehingga perlu lebih banyak menabung dan menyesuaikan pengeluaran mereka.
6. Pengeluaran harian menjadi prioritas dan pengeluaran diskresioner di urutan terbawah
Pengeluaran sehari-hari seperti BBM dan makanan tetap menjadi prioritas utama bagi konsumen, meskipun harganya mengalami peningkatan tertinggi. Selain itu, pengeluaran rumah tangga lainnya, seperti sewa rumah, cicilan, dan produk perawatan rumah dan pribadi, juga menjadi prioritas. Tren ini terlihat di semua kelas, dengan kelas menengah ke atas lebih memilih untuk berinvestasi daripada mengeluarkan uang untuk pengeluaran diskresioner seperti rekreasi, belanja, dan makan di luar. Pengeluaran diskresioner merupakan prioritas terakhir bagi konsumen.
7. Konsumen cenderung memilih alternatif yang lebih murah untuk kebutuhan pokok sambil mengurangi pengeluaran non-pokok
Menurut DBS Group Research, terdapat perbedaan dalam cara masyarakat mengelola pengeluaran mereka tergantung pada tingkat pendapatan. Masyarakat dengan pendapatan rendah cenderung lebih memilih menggunakan barang alternatif yang lebih murah daripada mengurangi frekuensi penggunaan kebutuhan pokok seperti bahan makanan, produk perawatan rumah dan pribadi, dan biaya transportasi.
Namun, untuk kebutuhan non-pokok seperti makan di luar, rekreasi, dan pakaian, mereka lebih memilih untuk mengurangi intensitas penggunaannya daripada mencari alternatif yang lebih murah. Sementara itu, masyarakat kelas menengah ke atas lebih memilih mengurangi frekuensi penggunaan kebutuhan pokok daripada mencari alternatif yang lebih murah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki standar kehidupan dengan kualitas yang tidak dapat dikompromi.