Sudah lebih dari setahun, anak-anak belajar daring (online learning) di rumah. Para pengajar memutar otak menyiapkan materi dan orang tua harus berbagi ruangan dengan sang buah hati. Lalu, apakah kebiasaan baru ini sepenuhnya bisa berjalan lancar?
Ruang kelas beraroma tinta spidol dan sesekali suara derit meja berubah cepat menjadi virtual dalam layar laptop atau smartphone. Seragam hanya yang terlihat di depan kamera, sementara celana rumahan menjadi ‘pakaian wajib’yang tak kentara.
Tentang bagaimana hasil dari pembelajaran daring ini, Lenovo dan Microsoft punya temuan yang menarik.
Dalam sebuah penelitian yang mereka lakukan baru-baru ini, terungkap bahwa siswa dan guru sebenarnya melihat potensi yang sangat besar dalam pembelajaran online. Namun fase yang dilaluinya baru pada tahap mulai menikmati manfaat dari pembelajaran online.
Hambatan terbesar suksesnya pembelajaran online bukan dikarenakan kurangnya akses terhadap teknologi, namun lebih karena sedikitnya solusi yang tersedia dan tantangan sosial yang diakibatkan oleh panjangnya waktu pembelajaran jarak jauh.
Sementara itu, YouGov dan Terrapin juga melakukan penelitian di 12 pasar di Asia Pasifik selama kurun waktu Mei 2020. Sampelnya mencakup hampir 3.400 orang yang terdiri dari siswa pelajar, orang tua dan pendidik, termasuk 215 siswa dan orang tua di Indonesia. Tujuan riset mereka adalah untuk mengetahui pemahaman akan e-learning semenjak terjadinya pandemic, dan mengeksplorasi bagaimana teknologi dapat lebih melibatkan para siswa dan mendukung proses pembelajaran.
“Dengan banyaknya sekolah tutup di berbagai negara sejak tahun 2020, pendidik, orang tua dan siswa sama-sama berjibaku dengan teknologi pembelajaran yang baru. Penelitian ini telah membantu kami lebih memahami bagaimana pendidik, orang tua dan siswa beradaptasi dengan pembelajaran online selama pandemic, apa tantangannya, dan solusi apa yang dapat diterapkan untuk membuat teknologi pembelajaran lebih efektif.” kata Budi Janto, General Manager Lenovo Indonesia.
“Peran teknologi telah menjadi hal yang sangat vital dalam proses belajar-mengajar antara siswa dan pendidik saat ini. Terlepas dari tantangan yang dihadapi selama setahun terakhir ini, kami mengagumi ketangguhan dan kemampuan beradaptasi para siswa dan pendidik pada masa peralihan dari kelas tradisional ke kelas virtual. Kedepannya, sudah pasti inovasi akan mengubah pengalaman belajar – dan kami memiliki komitmen untuk senantiasa mendukung industri dengan perangkat dan solusi yang tepat sehingga mereka siap untuk menghadapi era baru pendidikan,” Larry Nelson, Regional General Manager, Pendidikan, Microsoft Asia.
Teknologi di dunia pendidikan menjadi norma dalam setahun terakhir ini – dengan hasil yang beragam
Di seluruh Asia Pasifik, di lebih dari 80% siswa dan 95% pendidik tingkat penggunaan teknologi meningkat selama setahun terakhir ini, sementara 68% siswa dan 85% pendidik menghabiskan lebih banyak uang untuk teknologi selama setahun terakhir ini dibandingkan tahun sebelumnya. Tren ini akan berlanjut dengan 66% siswa dan 86% pendidik berencana akan meningkatkan pengeluaran pembelanjaan teknologi pembelajaran di tahun mendatang.
Pendidik dan siswa memiliki pendapat yang berbeda mengenai dampak kelas online terhadap hasil kinerja pendidikan. Pendidik secara relatif lebih positif terkait dengan kinerja mengajar online mereka, tercatat sebesar 59% pendidik yakin bahwa kinerja mengajar mereka meningkat, dan 24% percaya bahwa kinerja mereka tetap terkendali. Namun, penilaian para siswa lebih beragam: sekitar sepertiga siswa menilai bahwa kinerja belajar mereka meningkat, sedangkan sepertiga lainnya yakin bahwa tidak ada perubahan dalam kinerja belajar mereka selama periode online learning, dan sisa sepertiga-nya yakin bahwa kinerja belajar mereka menurun.
Aksesibilitas dan Kemudahan: keuntungan utama belajar daring
Di antara para siswa, kemudahan mendapat akses (63%) dan fleksibiltas (50%) disebut sebagai keunggulan utama dalam online learning, termasuk kemampuan mengakses berbagai konten dan materi dari seluruh dunia. Selain itu, 62% siswa dan 67% pendidik memuji kemudahan bekerja tanpa harus pergi ke tempat bekerja.
Sementara itu, 64% dari pendidik menyoroti keuntungan dari sentralisasi materi pengajaran dalam satu sumber online yang mudah diakses seperti Microsoft Teams for Education, seiring dengan 50% mengapresiasi bahwa e-learning mendorong proses pembelajaran yang kolaboratif, dan memungkinkan pembelajaran dan bimbingan yang personal.
Murid dan pendidik tahu apa yang mereka inginkan – tetapi baru mulai memanfaatkan solusi-solusi yang tersedia.
Siswa dan orang-tua mereka memilih “sangat penting” agar teknologi menyediakan solusi keamanan (50%), privasi (52%), performa yang fleksibel (26%), dan nilai yang berkelanjutan (29%). Hanya 17% yang memilih “sangat penting” untuk memiliki solusi teknologi dengan biaya yang rendah.
Pendidik juga tertarik pada fitur keamanan khusus untuk pendidikan (75%) dan privasi data (79%), tetapi juga menyebut fitur kolaborasi (64%), alat penilaian siswa (63%), kemudahan dalam penggunaan (59%), dan fitur aksesibilitas (52%) sebagai “sangat penting”.
Namun, meskipun 72% siswa menggunakan laptop seperti Lenovo Yoga dan 29% menggunakan tablet seperti Lenovo IdeaPad untuk mengakses pembelajaran online, hanya sedikit yang menggunakan rangkaian solusi pembelajaran secara lengkap: 38% siswa yang menggunakan aplikasi konferensi video seperti Microsoft Teams, 20% yang menggunakan cloud-based document sharing, dan 14% menggunakan remote-access files. Sekitar 15% siswa memiliki akses ke sistem manajemen pembelajaran online.
Hampir 95% pendidik menggunakan laptop seperti Lenovo ThinkPad untuk kegiatan mengajar sehari-hari. Sementara 76% menggunakan aplikasi konferensi video, 56% menggunakan cloud-based document sharing, dan 36% menggunakan remote access files, sekitar 66% menggunakan sistem manajemen pembelajaran online. Selain itu, 34% telah menggunakan platform virtual reality seperti Lenovo ThinkReality.
Siswa dan pendidik menemukan cara untuk menghadapi kendala teknis, namun gangguan, keterlibatan dan isolasi adalah hambatan.
Jarak secara fisik tidak menghalangi siswa atau guru untuk mendapatkan dukungan teknisi yang mereka butuhkan saat e-learning: meskipun banyak sekali tim teknis sekolah yang tidak mampu menangani banyaknya permintaan, para siswa dan guru menemukan sumber alternatif untuk mendapatkan dukungan teknis. Siswa lebih cenderung (33%) bertanya kepada teman kelas, teman, atau anggota keluarga yang lebih muda untuk membantu dari pada bertanya kepada tim teknisi sekolah (15%). Demikian pula 47% pendidik menyampaikan permasalahan teknis nya ke tim teknisi sekolah, namun 32% mencoba mencari solusinya sendiri, 31% bertanya kepada rekan guru yang lain, dan setidaknya 11% bertanya kepada anak remaja terdekatnya.
Sekitar 14% pendidik telah menggunakan device-as-a-service (DaaS. DaaS menawarkan model berbasis langganan termasuk laptop, desktop, tablet, dukungan teknis, software, dan layanan manajemen.
Siswa dan pendidik menemukan hambatan yang paling besar dalam pembelajaran online pada bidang sosial. Lebih dari 60% siswa dan pendidik menunjukkan bahwa mereka mengalami hubungan sosial yang melemah selama online learning. Empat faktor utama yang disebut sebagai tantangan oleh siswa dan orang tua adalah gangguan di rumah (58%), kurangnya motivasi untuk menghadiri kelas online di rumah (48%), kurangnya umpan balik dan interaksi secara langsung dengan guru/teman sekelas (46%) dan isolasi sosial atau sulitnya bertemu orang lain (41%).
Sementara aplikasi konferensi video menyediakan banyak cara untuk interaksi secara real-time, menghadiri semua kelas mereka melalui layar terbukti menjadi tantangan bagi para siswam 75% pendidik menyebutkan “siswa terganggu atau kehilangan konsentrasi selama sesi pengajaran” sebagai salah satu hambatan utama dalam e-learning.
Model berlangganan baru, kolaborasi yang lebih cerdas dan perangkat yang dapat membuka potensial pembelajaran online.
“Apa yang kami lihat dari penelitian ini adalah bahwa ada manfaat besar dari teknologi pendidikan, tetapi siswa dan pendidik belum memanfaatkan potensinya secara penuh”. Lanjut Budi Janto. “Baik siswa maupun pengajar mencari pembelajaran yang kolaboratif dan personal – menggunakan teknologi dapat membuat mereka tetap terlibat, dengan materi pembelajaran dan juga dengan satu sama lain. Lenovo berada di garis depan dalam teknologi ini, dengan fitur-fitur built-in yang memanfaatkan Artificial Intelligence, membantu menciptakan peluang untuk online engagement, dan memberikan kemudahan dan keandalan.”
Portofolio Lenovo
Portofolio layanan Lenovo mendukung pembelajaran yang berlangsung dengan menghadirkan solusi menyeluruh ke sekolah dan universitas.
Lenovo Managed Services melengkapi semua perangkat dengan cybersecurity software dan alat kolaborasi yang aman untuk memastikan perlindungan data dan keselamatan para siswa.
Lenovo Device as a Service (DaaS) memastikan manajemen teknis yang komprehensif, helpdesk, dan dukungan teknis untuk siswa dan pendidik di dalam dan di luar kampus
Lenovo Hybrid Classroom solutions menciptakan lingkungan belajar yang lebih dinamis dengna sistem kolarborasi all-in-one yang cerdas seperti ThinkSmart Hub, memudahkan murid dan pendidik untuk saling berhubungan, berbagi, dan belajar secara jarak jauh
Perangkat dan solusi VR seperti ThinkReality dan Lenovo VR Classroom 2 memungkinkan pendidik untuk lebih melibatkan dan menginspirasi siswa melalui pelajaran virtual realirt yang dapat meningkatkan pemahaman siswa terkait dengan materi yang diajarkan
Saat dunia menyesuaikan diri dengan new normal, pendidikan memasuki era baru belajar dan mengajar. Teknologi-teknologi canggih membuka jalan bagi siswa untuk meraskan pembelajaran yang imersif dengan aplikasi dunia nyata, dan memberdayakan para pendidik untuk membantu para siswa untuk untuk terus belajar melalui metode yang baru dan berbeda, dimanapun mereka berada.
Tentang Penelitian
Dilakukan pada Mei 2021, penelitian ini mensurvei 783 pendidik di Asia Pasifik, bersama dengan 669 orang tua dan 1.935 siswa berusia 16 hingga 25 tahun ke atas mengenai pengalaman mereka dengan e-learning selama pandemic global ini. Responden yang disurvei berasal dari Australia, Selandia Baru, Malaysia, Thailand, Taiwan, Singapura, Hong Kong, Vietnam, Filipina, Korea, India, dan Jepang.