
Industri media di Indonesia tengah menghadapi masa-masa sulit. Dalam dua tahun terakhir, gelombang pemutusan hubungan kerja terus melanda ruang redaksi, dengan lebih dari 1.000 jurnalis kehilangan pekerjaan menurut catatan Dewan Pers. Tekanan dari disrupsi digital, pergeseran perilaku audiens, hingga ketidakpastian finansial menjadi tantangan utama yang mengancam keberlangsungan media—khususnya media independen yang selama ini menjadi benteng jurnalisme yang kredibel.
Namun, di tengah disrupsi ini, peran media tetap vital. Kredibilitasnya sebagai pilar informasi masyarakat tak tergantikan. Hal ini juga tercermin dalam survei terbaru Vero terhadap lebih dari 100 jurnalis dan editor di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar jurnalis tetap berkomitmen tinggi pada integritas dan relevansi kerja jurnalistik—meskipun berada di bawah tekanan luar biasa.
Tantangan Media, Refleksi Bagi Brand

Sebanyak 44,1% jurnalis dalam survei Vero menyoroti disrupsi digital sebagai tantangan paling mendesak. Masyarakat kini lebih menyukai konten video pendek, platform berbasis algoritma, dan berita yang cepat dicerna. Akibatnya, media konvensional dituntut untuk terus bertransformasi.
Di sisi lain, 33,3% responden menyebut ketidakstabilan finansial sebagai isu utama yang memicu pemangkasan anggaran hingga penutupan media. Ketika ruang redaksi mengecil dan tekanan meningkat, muncul pertanyaan penting bagi brand: bagaimana cara membangun kehadiran yang bermakna dalam ruang media yang semakin terbatas dan kompetitif, tanpa mengorbankan nilai-nilai jurnalistik?
Kolaborasi Tanpa Mengorbankan Independensi

Menariknya, hampir 80% jurnalis menyatakan bahwa keberadaan brand memberi dampak positif terhadap kualitas pekerjaan mereka, asalkan disampaikan secara autentik dan bermanfaat. Hanya 1% yang menyatakan pengalaman negatif, menunjukkan bahwa kerja sama antara media dan brand bukanlah hal tabu, selama dijalankan dengan menghormati nilai-nilai jurnalistik.
Sekitar 30% responden menyatakan bahwa brand harus menyediakan informasi yang akurat dan relevan. Sementara sebagian besar lainnya menekankan pentingnya menghargai independensi redaksi. Dalam praktiknya, jurnalis tidak ingin dipaksa atau diarahkan untuk menulis sesuatu yang tidak sesuai dengan pedoman editorial mereka.
Permintaan revisi atau framing yang terlalu diarahkan demi kepentingan komersial bisa merusak kepercayaan pembaca, dan dalam jangka panjang, juga merugikan brand itu sendiri. Maka, kolaborasi terbaik antara brand dan media bukan yang mengontrol narasi, melainkan yang memperkuatnya.
Dukungan Nyata: Sponsorship dan Inisiatif Jurnalistik

Dalam situasi krisis media, dukungan dari brand bisa menjadi penyelamat. Hampir separuh responden menyebut bahwa sponsorship konten dan acara adalah bentuk kontribusi paling bermanfaat. Dukungan semacam ini membantu redaksi menghasilkan liputan yang mendalam sekaligus membuka ruang dialog antara publik dan brand.
Sebanyak 33% responden juga berharap brand bisa berinvestasi dalam praktik jurnalistik yang etis. Bentuk dukungan ini bisa berupa pelatihan jurnalis, hibah inovasi media, hingga penghargaan jurnalistik yang mendorong pelaporan berkualitas dan berdampak. Upaya seperti ini tidak hanya memperkuat ekosistem media, tetapi juga menunjukkan bahwa brand peduli terhadap keberlangsungan demokrasi informasi.
Mendukung Media Artinya Mendukung Masyarakat

Media tidak bisa bekerja sendiri dalam mempertahankan independensinya. Brand memiliki peran penting sebagai mitra—bukan pengendali—dalam ekosistem informasi yang sehat. Ketika brand berinvestasi pada media yang berintegritas, mereka tidak hanya membangun reputasi, tapi juga berkontribusi pada masyarakat yang lebih cerdas dan kritis.
Maka, kolaborasi yang sehat harus dibangun di atas dialog terbuka, kepercayaan, dan rasa hormat. Saat brand memahami nilai dan misi jurnalis, dan mendukungnya secara strategis dan etis, keduanya bisa tumbuh bersama. Di tengah tantangan yang ada, justru inilah saat terbaik bagi brand untuk menunjukkan komitmen pada keberlanjutan media independen di Indonesia.