Home Entertainment Review Film Anak Kunti (2025): Horor Emosional yang Terhambat Klimaks Lemah

Review Film Anak Kunti (2025): Horor Emosional yang Terhambat Klimaks Lemah

Anak Kunti, film horor Indonesia terbaru karya sutradara Bambang Drias, tayang perdana pada 20 Februari 2025. Diproduksi oleh Drias Film Production bersama KipasKipas dan didukung Nuon Digital Indonesia, film ini melibatkan Aura Kasih dan Gito Huang sebagai produser eksekutif. Mengadopsi teknologi Dolby Atmos, Anak Kunti menghadirkan pengalaman suara yang intens, sekaligus mengangkat kembali legenda Kuntilanak dalam narasi modern yang sarat emosi. Lebih dari sekadar horor, film ini mengeksplorasi ikatan keluarga yang melampaui hidup dan mati.

Kisahnya mengikuti Sarah (Gisellma Firmansyah), seorang santriwati yatim piatu yang kembali ke Desa Wonoenggal pada era 1990-an untuk menelusuri asal-usulnya. Di desa yang tampak damai itu, ia mulai dihantui mimpi tentang Kuntilanak, yang ternyata terhubung dengan masa lalunya. Bersama Azizah (Wavi Zihan), sahabatnya, dan Majid (Abun Sungkar), dokter muda yang penuh rasa ingin tahu, Sarah mengungkap misteri yang melibatkan Mbok Darmi (Jajang C. Noer), tokoh desa yang menyimpan rahasia kelam. Perjalanan mereka mengarah pada kutukan yang menghantui desa dan cerita emosional di balik teror supranatural.

Salah satu daya tarik film ini adalah penampilan para aktornya. Nita Gunawan sebagai Wati, sang Kuntilanak, menampilkan perubahan memukau dari gadis desa yang anggun menjadi sosok mengerikan yang menghantui. Jajang C. Noer membawakan Mbok Darmi dengan karisma misterius yang memikat, sementara Ruth Marini menambah kedalaman emosi. Iwa K, yang juga turut berperan, menghadirkan kehadiran yang unik. Ia memerankan karakter pendukung dengan gaya khasnya yang santai namun penuh intensitas, memberikan warna tersendiri pada dinamika cerita. Gestur dan dialognya yang bernuansa Jawa menambah autentisitas budaya lokal, meski porsi karakternya terasa kurang dieksplorasi secara maksimal.

Secara teknis, Anak Kunti unggul dalam hal audio dan visual. Dolby Atmos menciptakan efek suara yang mencekam—dari tawa Kuntilanak hingga bisikan angin—yang membuat penonton terhanyut dalam suasana horor. Sinematografi dengan pencahayaan redup dan sudut kamera yang cerdas turut membangun ketegangan. Namun, film ini tak lepas dari kelemahan. Beberapa alur terasa klise, seperti motif hantu pembalas dendam yang sudah usang, dan ritme cerita di pertengahan agak melambat.

Sayangnya, akhir film menjadi titik lemah yang mencolok. Pertarungan klimaks antara Mbok Darmi dan Kuntilanak, yang seharusnya menjadi puncak ketegangan, justru berlangsung di bawah standar ekspektasi penonton. Setelah membangun antisipasi melalui misteri dan teror yang kuat, adegan ini terasa kurang menggigit. Koreografi pertarungan tampak sederhana, dan efek visual yang diharapkan memukau malah terlihat biasa saja, sehingga gagal memberikan kepuasan emosional maupun dramatis. Akibatnya, resolusi cerita terasa datar, padahal premis tentang kasih ibu dan kutukan desa memiliki potensi besar untuk diakhiri dengan lebih berdampak.

Meski demikian, Anak Kunti tetap menawarkan nilai lebih melalui pendekatan emosionalnya. Misteri hubungan Sarah dengan Kuntilanak memberikan lapisan narasi yang menyentuh, didukung nuansa lokal dari dialog berbahasa Jawa dan latar pedesaan. Ditayangkan di tujuh negara, termasuk Indonesia dan Malaysia, film ini mencerminkan ambisi perfilman tanah air untuk bersaing secara global. Bagi pecinta horor, Anak Kunti tetap layak ditonton karena kekuatan akting, audio-visual, dan tema keluarga yang hangat, meskipun akhir yang lemah sedikit mengurangi kesan keseluruhan.