
Cisco merilis hasil studi global terbarunya, Cisco AI Readiness Index 2025, yang menunjukkan bahwa hanya 23% organisasi di Indonesia yang siap sepenuhnya memanfaatkan potensi kecerdasan buatan (AI) dan masuk dalam kategori “Pacesetters.”
Kelompok kecil ini terbukti tiga kali lebih mungkin untuk membawa proyek percontohan AI ke tahap produksi dan 20% lebih banyak melaporkan nilai bisnis yang terukur dibanding organisasi lain. Namun, mayoritas perusahaan di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal infrastruktur, keamanan, dan kesiapan sumber daya manusia.
Ambisi Tinggi, Kesiapan Rendah

Meski 97% organisasi di Indonesia berencana menerapkan agen AI dalam 12 bulan ke depan, hanya 27% yang menganggap jaringannya cukup fleksibel, dan sekitar sepertiga merasa sistem mereka aman. Bahkan 59% baru memiliki rencana pengembangan tenaga kerja terkait AI.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran munculnya “AI Infrastructure Debt”, yaitu akumulasi hambatan teknis akibat infrastruktur yang usang dan tidak siap menghadapi beban kerja AI. Sekitar 55% perusahaan mengeluhkan biaya komputasi yang tinggi, sementara 47% mengaku kekurangan GPU, dan 70% masih kesulitan melakukan sentralisasi data.
“Laporan tahun ini menjelaskan satu hal penting — kesiapan membawa ke pencapaian nilai,” ujar Sheldon Chen, Country Leader Interim Cisco Indonesia.
“Perusahaan yang siap secara infrastruktur dan strategi, yaitu para Pacesetters, terbukti mampu mengubah AI menjadi nilai nyata bagi bisnis mereka.”
Profil Pacesetters: Siap, Strategis, dan Sistematis
Hasil riset global Cisco yang melibatkan lebih dari 8.000 pemimpin AI dari 30 negara dan 26 industri menunjukkan bahwa Pacesetters memiliki pola yang konsisten:
- 99% sudah memiliki peta jalan AI yang jelas (dibanding 78% di Indonesia)
- 91% memiliki rencana manajemen perubahan (vs 51%)
- 79% menjadikan AI sebagai prioritas investasi utama (vs 37%)
- 71% sudah memiliki jaringan fleksibel dan siap ekspansi (vs 27%)
Selain itu, 62% Pacesetters secara global telah memiliki proses inovasi yang matang dan dapat diulang untuk mengembangkan kasus penggunaan AI baru, jauh di atas rata-rata 19% di Indonesia.
AI Infrastructure Debt: Ancaman yang Meningkat
Cisco memperkenalkan istilah AI Infrastructure Debt, menggambarkan kondisi di mana ketertinggalan dalam modernisasi infrastruktur mengikis nilai AI dalam jangka panjang. Sekitar 49% perusahaan di Indonesia memperkirakan beban kerja akan meningkat lebih dari 30% dalam setahun, namun 29% menyatakan sistem TI mereka tidak akan sanggup menanganinya.
Jika tidak segera ditangani, utang infrastruktur ini dapat menghambat ROI (return on investment) dan memperlambat transformasi digital yang tengah digalakkan.
Keamanan dan Tata Kelola Jadi Faktor Penentu
Keamanan menjadi aspek penting lain dalam kesiapan AI. Hanya 37% organisasi di Indonesia yang merasa siap menghadapi ancaman siber berbasis AI, sementara 56% menyadari risiko keamanan yang dapat timbul dari penggunaan AI. Di sisi lain, Pacesetters sudah melangkah lebih jauh: 62% dari mereka mengintegrasikan AI dalam sistem keamanan dan identitas, serta 75% sudah memiliki alat untuk mengendalikan agen AI secara aman.
Nilai Mengikuti Kesiapan
Cisco menegaskan bahwa di era munculnya sistem AI otonom dan agen AI yang semakin cerdas, nilai bisnis hanya akan tercapai bila organisasi memiliki kesiapan menyeluruh — mulai dari infrastruktur, keamanan, hingga strategi bisnis.
“Nilai mengikuti kesiapan,” tambah Sheldon Chen. “Organisasi yang disiplin dalam membangun fondasi AI akan menjadi yang terdepan dalam kompetisi nilai.”
Tentang Cisco AI Readiness Index 2025
Laporan ini merupakan studi global tahunan yang kini memasuki tahun ketiga. Survei dilakukan secara double-blind terhadap lebih dari 8.000 pemimpin IT dan bisnis senior dari 26 industri di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk mengukur kesiapan mereka dalam mengadopsi dan memanfaatkan AI.